Wednesday, December 1, 2010

what is problem?

Neo, pemeran utama trilogi film The Matrix hanya cukup mengucapkan kata "Up-grade" setiap kali menghadapi persoalan baru atau masalah dalam dunia matrix, maka operator akan segera mengup-grade atau menginstal sebuah keahlian baru kepadanya. Einstein berkata "kita tidak dapat menyelesaikan masalah dgn tingkat berfikir yg sama saat kita menemukan masalah tersebut". Yang yang ingin ia sampaikan adalah diperlukan tingkatan baru dalam berfikir setiap kali kita menghadapi sebuah masalah.

Semua orang memiliki masalah, yang membedakan milyaran orang di atas bumi ini adalah cara mereka memandang dan menyelesaikan masalah itu. tersedia ribuan cara baik yang konvensional maupun yang shopisticated dalam menghadapi masalah, persamaan kedua cara itu adalah memahami masalah dalam sebuah tingkat baru dalam berfikir. dan mungkin saja tingkatan baru dalam berfikir ini tidak kita kenali sebelumnya.

Tahap awal adalah mengenali masalah itu, mudah? tidak juga, ada sebagian orang yang justru hidup dan tumbuh dalam sebuah lingkaran permasalahan, sebagian lagi ada juga yang hanya merasakan adanya masalah tanpa dapat melihat dan mengenali masalah itu. Contoh nyatanya adalah saya sendiri :D

Saat seseorang merasakan hidupnya sudah tidak lagi menggairahkan, pekerjaan sudah membosankan, sudah mulai enggan bangun pagi dan berangkat kerja lebih awal, saat seseorang tidak merasakan kerasan tinggal di rumah, tidak menemukan kedamaian dalam rumah, sudah enggan belajar dan bersekolah atau kuliah, malas pergi ke kampus dengan berbagai alasan yang dapat ia sebutkan atau ia karang maka mudah bagi kita mengatakan orang itu dalam masalah, namun apa masalah yang sebenarnya mereka hadapi, bukanlah perkara yang mudah untuk diungkap bahkan oleh mereka yang mengalaminya. (*sedikit curcol)


Intinya, masalah ada di dalam sini, dalam diri kita, dan bukan di luar sana. saya katakan cara kita memandang sebuah masalah, itulah masalah yang pertama-tama harus kita perbaiki.


Cara kita melihat masalah merupakan masalah itu sendiri.

Kita cenderung berfikir bahwa kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, bahwa kita sudah obyektif. Namun kenyataannya tidak demikian.

Kita melihat dunia, bukan sebagaimana dunia adanya, melainkan sebagaimana kita adanya, atau sebagaimana kita terkondisikan untuk melihatnya, Ketika kita menjabarkan apa yang kita lihat, kita sebenarnya menjabarkan diri kita, persepsi kita, paradigma kita sendiri. Ketika orang lain tidak setuju dan berbeda dengan kita, kita cenderung berfikir pasti ada sesuatu yang salah dengan mereka.

Kita kadang mendefinisikan fakta yang kita hadapi sesuai dengan apa yang telah kita alami sebelumnya, kita telah terkondisikan untuk melihat seperti itu oleh pengalaman kita sebelumnya, pengalaman kita itu adalah sumber paradigma, peta dasar kita dan presumsi awal yang menuntun kita dalam memahami fakta itu.

Mari bayangkan sejenak kita sedang dalam kereta api di minggu siang yang tentunya lenggang dan sepi karena bukan hari kerja. Orang-orang duduk dengan tenang, sebagian membaca surat kabar, ada yang melamun, sebagian lagi bersandar dengan mata terpejam. Suasana tenang dan damai. Lalu tiba-tiba, seorang pria dan anak-anaknya masuk ke dalam gerbong. Anak-anak tersebut begitu berisik dan ribut tidak terkendali sehingga segera saja suasana menjadi berubah.

Pria tersebut duduk di sebelah saya dengan memejamkan matanya, agaknya tidak peduli akan situasi saat itu. Anak-anaknya berteriak, melemparkan barang, bahkan merebut koran yang sedang dibaca orang. Sangat mengganggu. Namun pria tersebut tetap tidak berbuat apapun, membuka matanyapun tidak.

Sulit untuk tidak merasa jengkel. Saya tidak dapat mengerti ia dapat begitu tenang membiarkan anak2nya berlarian liar seperti itu dan tidak berbuat apapun untuk mencegah mereka, sama sekali tidak bertanggung jawab. Semua penumpang tampak gelisah dan merasa terganggu sambil memandang saya seakan meminta untuk menegur pria di sebelah saya tersebut.
Akhirnya dengan segala kesopanan yang saya bisa himpun ditengah rasa jengkel saya pun berkata "maaf pak, anak-anak bapak benar-benar mengganggu banyak orang, mungkin bapak bisa mengendalikan mereka sedikit?".
Orang itu mengangkat dagunya seolah baru tersadar akan situasi disekitarnya lalu berkata dengan sedih "Oh maaf, anda benar, saya harus berbuat sesuatu. Kami baru saja dari rumah sakit dimana ibu mereka meninggal dunia tadi malam, saya tidak tahu harus berpikir apa dan saya kira mereka juga tidak tahu harus bagaimana menghadapinya".

Dapat anda bayangkan bagaimana perasaan saya saat itu? Paradigma saya berubah seketika, tiba2 saya melihat segalanya secara berbeda, dan karena saya melihat dengan cara berbeda, saya berfikir dengan cara berbeda, saya merasa dengan cara berbeda dan saya berperilaku dengan cara yang berbeda pula. Kejengkelan saya seketika hilang, saya pun tanpa diminta tergerak untuk mengendalikan anak-anak tersebut begitu pula penumpang yang lain. Sebuah masalah telah terselesaikan dgn solusi yg tidak pernah terpikirkan, inilah sebuah tingkat baru dalam berpikir. win-win solusion yang sesungguhnya.

Itulah kekuatan dari merubah cara pandang, merubah paradigma kita akan menghasilkan respon yang berbeda, karena kita berfikir secara berbeda maka kita akan bertindak secara berbeda. inilah kunci dalam menghadapi segala masalah, memperbaiki cara kita memandang masalah akan menghasilkan banyak perbedaan dalam menyelesaikan masalah dan tidak mustahil anda melihat masalah menjadi sebuah peluang. Yup setiap masalah adalah peluang.

(materi ini diserap dari buku 7 habbits oleh Steven R Covey)

(QS:94.5-6) Surely with difficulty is ease, With difficulty is surely ease.

No comments:

Post a Comment